TUGAS PANCASILA
Oleh;
Uswatun Khasanatul Mauliddah C31120068
Uswatun Khasanatul Mauliddah C31120068
PROGRAM
STUDI PRODUKSI TERNAK
JURUSAN PETERNAKAN
KEMENTERIAN
PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
POLITEKNIK NEGERI JEMBER
2013
POLITEKNIK NEGERI JEMBER
2013
Pengertian Paradigma dalam arti luas
Paradigma secara sederhana dapat diartikan sebagai kerangka pikir untuk
melihat suatu permasalahan. Pengertian paradigma berkembang dari definisi
paradigma pengetahuan yang dikembangkan oleh Thomas Kuhn dalam rangka menjelaskan cara kerja dan mengembangkan
ilmu pengetahuan khususnya ilmu-ilmu alam. Paradigma pengetahuan merupakan
perspektif intelektual yang dalam kondisi normal memberikan pedoman kerja
terhadap ilmuwan yang membentuk ‘masyarakat ilmiah’ dalam disiplin tertentu.
Robert Winslow menambahkan pengertian paradigma ilmiah sebagai gambaran intelektual yang
daripadanya dapat ditentukan suatu subjek kajian. Perspektif intelektual inilah
yang kemudian akan membentuk ilmu pengetahuan normal (normal science) yang
mendasari pembentukan kerangka teoritis terhadap kajian-kajian ilmiah.
George Ritzer memberikan pengertian paradigma sebagai gambaran fundamental mengenai
subjek ilmu pengetahuan. Paradigma memberikan batasan mengenai apa yang harus
dikaji, pertanyaan yang harus diajukan, bagaimana harus dijawab dan
aturan-aturan yang harus diikuti dalam memahami jawaban yang diperoleh.
Paradigma ialah unit konsensus yang amat luas dalam ilmu pengetahuan dan
dipakai untuk melakukan pemilahan masyarakat ilmu pengetahuan (sub-masyarakat)
yang satu dengan masyarakat pengetahuan yang lain. Paradigma membantu para
ilmuwan dan teoritisi intelektual untuk memandu, mengintegrasikan dan
menafsirkan karya mereka agar terhindar dari penciptaan informasi yang acak dan
tidak beraturan.
Menurut Kuhn, tidak ada sejarah
kehidupan yang dapat diinterpretasikan tanpa sekurang-kurangnya beberapa bentuk
teori dan keyakinan metodologik implicit yang berkaitan satu sama lain yang
memungkinkan untuk melakukan seleksi, evaluasi dan bersikap kritis. Meskipun
terlihat terlalu bernuansa akademis, sebenarnya paradigma tidak menjadi bahan
kaji atau dominasi para kaum intelektual untuk mengembangkan ilmu pengetahuan,
paradigma juga mungkin diterapkan pada ranah-ranah kehidupan sosial yang lain.
Sebenarnya Kuhn mendapatkan gagasannya mengenai paradigma tersebut dari dunia
sejarah dan sastra yang kemudian diterapkannya ke dalam domain ilmu-ilmu alam
yang pada waktu itu dianggap sebagai satu-satunya ilmu pengetahuan yang
bersifat ilmiah. Sedangkan cabang ilmu pengetahuan yang sekarang telah dianggap
sebagai ilmu, dulunya hanya dianggap sebagai seni saja misalnya sejarah,
sastra, dan politik.
Pancasila
sebagai Paradigma Pembangunan
Untuk mencapai tujuan hidup bermasyarakat
berbangsa dan bernegara Indonesia melaksanakan pembangunan nasional. Hal ini
sebagai perwujudan praksis dalam meningkatkan harkat dan martabatnya. Secara
filosofis hakikat kedudukan Pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional
mengandung suatu konsekuensi bahwa dalam segala aspek pembangunan nasional kita
harus mendasarkan pada hakikat nilai-nilai pada sila-sila Pancasila.
Hal ini sesuai dengan kenyataan
objektif bahwa Pancasila adalah dasar negara Indonesia, sedangkan negara
merupakan organisasi atau persekutuan hidup manusia maka tidak berlebihan
apabila pancasila menjadi landasan dan tolok ukur penyelenggaraan bernegara
termasuk dalam melaksanakan pembangunan.
Nilai-nilai dasar Pancasila itu
dikembangkan atas dasar hakikat manusia. Hakikat manusia menurut Pancasila
adalah makhluk monopluralis. Kodrat manusia yang monopluralis tersebut
mempunyai ciri-ciri, antara lain:
a. susunan kodrat manusia terdiri
atas jiwa dan raga
b. sifat kodrat manusia sebagai
individu sekaligus sosial
c. kedudukan kodrat manusia sebagai
makhluk pribadi dan makhluk tuhan.
Berdasarkan itu, pembangunan
nasional diarahkan sebagai upaya meningkatkan harkat dan martabat manusia yang
meliputi aspek jiwa, raga,pribadi, sosial, dan aspek ketuhanan. Secara singkat,
pembangunan nasional sebagai upaya peningkatan manusia secara totalitas.
Pembangunan sosial harus mampu
mengembangkan harkat dan martabat manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu,
pembangunan dilaksanakan di berbagai bidang yang mencakup seluruh aspek
kehidupan manusia. Pembangunan, meliputi bidang politik, ekonomi, sosial
budaya, dan pertahanan keamanan.
Pancasila sebagai Paradigma
Pembangunan Politik
Manusia Indonesia selaku warga
negara harus ditempatkan sebagai subjek atau pelaku politik bukan sekadar objek
politik. Pancasila bertolak dari kodrat manusia maka pembangunan politik harus
dapat meningkatkan harkat dan martabat manusia.
Sistem politik Indonesia yang
bertolak dari manusia sebagai subjek harus mampu menempatkan kekuasaan
tertinggi pada rakyat. Kekuasaan adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk
rakyat. Sistem politik Indonesia yang sesuai pancasila sebagai paradigma adalah
sistem politik demokrasi bukan otoriter. Berdasar hal itu, sistem politik
Indonesia harus dikembangkan atas asas kerakyatan (sila IV Pancasila).
Pengembangan selanjutnya adalah
sistem politik didasarkan pada asas-asas moral daripada sila-sila pada
pancasila. Oleh karena itu, secara berturut-turut sistem politik Indonesia
dikembangkan atas moral ketuhanan, moral kemanusiaan, moral persatuan, moral
kerakyatan, dan moral keadilan.
Perilaku politik, baik dari warga
negara maupun penyelenggara negara dikembangkan atas dasar moral tersebut
sehingga menghasilkan perilaku politik yang santun dan bermoral. Pancasila
sebagai paradigma pengembangan sosial politik diartikan bahwa Pancasila
bersifat sosial-politik bangsa dalam cita-cita bersama yang ingin diwujudkan
dengan menggunakan nilai-nilai dalam Pancasila. Pemahaman untuk implementasinya
dapat dilihat secara berurutan-terbalik:
·
Penerapan dan pelaksanaan keadilan
sosial mencakup keadilan politik, budaya,
agama, dan ekonomi dalam kehidupan sehari-hari
·
Mementingkan kepentingan rakyat
(demokrasi) bilamana dalam pengambilan keputusan
Melaksanakan
keadilan sosial dan penentuan prioritas kerakyatan berdasarkan konsep
mempertahankan persatuan. Dalam pencapaian tujuan keadilan menggunakan pendekatan
kemanusiaan yang adil dan beradab.
Di era globalisasi informasi seperti sekarang ini,
implementasi tersebut perlu direkonstruksi kedalam pewujudan masyarakat-warga
(civil society) yang mencakup masyarakat tradisional (berbagai asal etnik,
agama, dan golongan), masyarakat industrial, dan masyarakat purna industrial.
Dengan demikian, nilai-nilai sosial politik yang dijadikan moral baru
masyarakat informasi adalah:
1. Nilai toleransi
2. Nilai transparansi hukum dan kelembagaan
3.Nilai kejujuran dan komitmen (tindakan sesuai dengan kata)
4. Bermoral berdasarkan konsensus
Dapat
disimpulkan bahwa pengembangan politik negara terutama dalam proses reformasi
dewasa ini harus mendasarkan pada moralitas sebagaimana tertuang dalam
sila-sila Pancasila sehingga, praktik-praktik yang menghalalkan segala cara
dengan memfitnah, memprovokasi menghasut rakyat yang tidak berdosa untuk diadu
domba harus segera diakhiri.
Pancasila
Sebagai Pembangunan Ekonomi
Sesuai dengan paradigma pancasila dalam pembangunan ekonomi
maka sistem dan pembangunan ekonomi berpijak pada nilai moral daripada
pancasila. Secara khusus, sistem ekonomi harus mendasarkan pada dasar moralitas
ketuhanan (sila I Pancasila) dan kemanusiaan ( sila II Pancasila). Sistem
ekonomi yang mendasarkan pada moralitas dam humanistis akan menghasilkan sistem
ekonomi yang berperikemanusiaan. Sistem ekonomi yang menghargai hakikat
manusia, baik selaku makhluk individu, sosial, makhluk pribadi maupun makhluk
tuhan.
Sistem ekonomi yang berdasar pancasila berbeda dengan sistem
ekonomi liberal yang hanya
menguntungkan individu-individu tanpa perhatian pada manusia lain. Sistem ekonomi demikian juga berbeda dengan sistem ekonomi dalam sistem sosialis yang tidak mengakui kepemilikan individu. Pancasila bertolak dari manusia sebagai totalitas dan manusia sebagai subjek. Oleh karena itu, sistem ekonomi harus dikembangkan menjadi sistem dan pembangunan ekonomi yang bertujuan pada kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Sistem ekonomi yang berdasar pancasila adalah sistem ekonomi kerakyatan yang berasaskan kekeluargaan. Sistem ekonomi Indonesia juga tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai moral kemanusiaan.
menguntungkan individu-individu tanpa perhatian pada manusia lain. Sistem ekonomi demikian juga berbeda dengan sistem ekonomi dalam sistem sosialis yang tidak mengakui kepemilikan individu. Pancasila bertolak dari manusia sebagai totalitas dan manusia sebagai subjek. Oleh karena itu, sistem ekonomi harus dikembangkan menjadi sistem dan pembangunan ekonomi yang bertujuan pada kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Sistem ekonomi yang berdasar pancasila adalah sistem ekonomi kerakyatan yang berasaskan kekeluargaan. Sistem ekonomi Indonesia juga tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai moral kemanusiaan.
Pembangunan ekonomi harus mampu menghindarkan diri dari
bentuk-bentuk persaingan bebas, monopoli dan bentuk lainnya yang hanya akan
menimbulkan penindasan, ketidakadilan, penderitaan, dan kesengsaraan warga
negara. Pancasila sebagai paradigma pengembangan ekonomi lebih mengacu pada
Sila Keempat Pancasila; sementara pengembangan ekonomi lebih mengacu pada
pembangunan Sistem Ekonomi Indonesia. Dengan demikian subjudul ini menunjuk
pada pembangunan Ekonomi Kerakyatan atau pembangunan Demokrasi Ekonomi atau
pembangunan Sistem Ekonomi Indonesia atau Sistem Ekonomi Pancasila.
Dalam Ekonomi Kerakyatan, politik/kebijakan ekonomi harus
untuk sebesarbesar kemakmuran/kesejahteraan rakyat yang harus mampu mewujudkan
perekonomian nasional yang lebih berkeadilan bagi seluruh warga masyarakat
(tidak lagi yang seperti selama Orde Baru yang telah berpihak pada ekonomi
besar/konglomerat). Politik Ekonomi Kerakyatan yang lebih memberikan
kesempatan, dukungan, dan pengembangan ekonomi rakyat yang mencakup koperasi,
usaha kecil, dan usaha menengah sebagai pilar utama pembangunan ekonomi
nasional.
Oleh sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan ini ialah
koperasi. Ekonomi Kerakyatan akan mampu mengembangkan program-program kongkrit
pemerintah daerah di era otonomi daerah yang lebih mandiri dan lebih mampu mewujudkan
keadilan dan pemerataan pembangunan daerah.
Dengan demikian, Ekonomi Kerakyatan akan mampu memberdayakan
daerah/rakyat dalam berekonomi, sehingga lebih adil, demokratis, transparan,
dan partisipatif. Dalam
Ekonomi Kerakyatan, Pemerintah Pusat (Negara) yang demokratis berperanan memaksakan pematuhan peraturan-peraturan yang bersifat melindungi warga atau meningkatkan kepastian hukum
Ekonomi Kerakyatan, Pemerintah Pusat (Negara) yang demokratis berperanan memaksakan pematuhan peraturan-peraturan yang bersifat melindungi warga atau meningkatkan kepastian hukum
Pancasila Sebagai Pembangunan Sosial
Budaya
Dalam pembangunan pengembangan aspek
sosial budaya hendaknya didasarkan atas sistem nilai yang sesuai dengan
nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh masyarakat tersebut. Pancasila
mendasarkan pada nilai yang bersumber
pada harkat dan martabat manusia sebagai makhlukyang berbudaya. Pancasila juga
merupakan sumber normatif bagi peningkatan humanisasi dalam bidang sosial
budaya.
Pancasila pada hakikatnya bersifat humanistik karena memang
pancasila bertolak dari hakikat dan kedudukan kodrat manusia itu sendiri. Hal
ini sebagaimana tertuang dalam sila Kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh
karena itu, pembangunan sosial budaya harus mampu meningkatkan harkat dan
martabat manusia, yaitu menjadi manusia yang berbudaya dan beradab. Pembangunan
sosial budaya yang menghasilkan manusia-manusia biadab, kejam, brutal dan
bersifat anarkis jelas bertentangan dengan cita-cita menjadi manusia adil dan
beradab.
Manusia tidak cukup sebagai manusia secara fisik, tetapi
harus mampu meningkatkan derajat kemanusiaannya. Manusia harus dapat
mengembangkan dirinya dari tingkat homo
menjadi human. Berdasarkan sila persatuan Indonesia, pembangunan sosial budaya dikembangkan atas dasar penghargaan terhadap nilai sosial dan budaya-budaya yang beragam di seluruh wilayah Nusantara menuju pada tercapainya rasa persatuan sebagai bangsa.
menjadi human. Berdasarkan sila persatuan Indonesia, pembangunan sosial budaya dikembangkan atas dasar penghargaan terhadap nilai sosial dan budaya-budaya yang beragam di seluruh wilayah Nusantara menuju pada tercapainya rasa persatuan sebagai bangsa.
Perlu ada pengakuan dan penghargaan terhadap budaya dan
kehidupan sosial berbagai kelompok bangsa Indonesia sehingga mereka merasa
dihargai dan diterima sebagai warga bangsa. Dengan demikian, pembangunan sosial
budaya tidak menciptakan kesenjangan, kecemburuan, diskriminasi, dan ketidakadilan
sosial. Paradigma-baru dalam pembangunan nasional berupa paradigma pembangunan
berkelanjutan, yang dalam perencanaan dan pelaksanaannya perlu diselenggarakan
dengan menghormati hak budaya komuniti-komuniti yang terlibat, di samping hak
negara untuk mengatur kehidupan berbangsa dan hak asasi individu secara
berimbang (Sila Kedua). Hak budaya komuniti dapat sebagai
perantara/penghubung/penengah antara hak negara dan hak asasi individu.
Paradigma ini dapat mengatasi sistem perencanaan yang sentralistik dan yang
mengabaikan kemajemukan masyarakat dan keanekaragaman kebudayaan Indonesia.
7
Dengan demikian, era otonomi daerah tidak akan mengarah pada
otonomi suku bangsa tetapi justru akan memadukan pembangunan lokal/daerah
dengan pembangunan regional dan pembangunan nasional (Sila Keempat), sehingga
ia akan menjamin keseimbangan dan kemerataan (Sila Kelima) dalam rangka
memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa yang akan sanggup menegakan kedaulatan
dan keutuhan wilayah NKRI (Sila Ketiga).
Apabila dicermati, sesungguhnya
nilai-nilai Pancasila itu memenuhi kriteria sebagai puncak-puncak kebudayaan,
sebagai kerangka-acuan-bersama, bagi kebudayaan - kebudayaan di daerah:
1.
Sila Pertama, menunjukan tidak satu pun sukubangsa ataupun
golongan sosial dan komuniti
setempat di Indonesia yang tidak mengenal kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa;
2.
Sila Kedua, merupakan nilai budaya yang dijunjung tinggi
oleh segenap warganegara
Indonesia tanpa membedakan asal-usul kesukubangsaan,
kedaerahan, maupun golongannya;
3.
Sila Ketiga, mencerminkan nilai budaya yang menjadi
kebulatan tekad masyarakat majemuk
di kepulauan nusantara untuk mempersatukan diri sebagai satu
bangsa yang berdaulat;
4.
Sila Keempat, merupakan nilai budaya yang luas persebarannya
di kalangan masyarakat
majemuk Indonesia untuk melakukan kesepakatan melalui
musyawarah. Sila ini sangat relevan
untuk mengendalikan nilai-nilai budaya yang mendahulukan
kepentingan perorangan;
5.
Sila Kelima, betapa nilai-nilai keadilan sosial itu menjadi
landasan yang membangkitkan
semangat perjuangan bangsa Indonesia
dalam memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikutserta
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan
sosial.
Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan
Hukum
Salah satu tujuan bernegara
Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia. Hal ini mengandung makna bahwa tugas dan tanggung jawab tidak hanya
oleh penyelenggara negara saja, tetapi juga rakyat Indonesia secara keseluruhan.
Atas dasar tersebut, sistem pertahanan dan keamanan adalah mengikut sertakan
seluruh komponen bangsa. Sistem pembangunan pertahanan dan keamanan Indonesia
disebut sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (sishankamrata).
Sistem pertahanan yang bersifat
semesta melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional
lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan
secara total terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara,
keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman.
Penyelenggaraan sistem pertahanan semesta didasarkan pada kesadaran atas hak
dan kewajiban warga negara, serta keyakinan pada kekuatan sendiri.
Sistem ini pada dasarnya sesuai dengan
nilai-nilai pancasila, di mana pemerintahan dari rakyat (individu) memiliki hak
dan kewajiban yang sama dalam masalah pertahanan negara dan bela negara.
Pancasila sebagai paradigma pembangunan pertahanan keamanan telah diterima
bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam UU No. 3 Tahun 2002 tentang
pertahanan Negara.
Dalam undang-undang tersebut
dinyatakan bahwa pertahanan negara bertitik tolak pada falsafah dan pandangan
hidup bangsa Indonesia untuk menjamin keutuhan dan tetap tegaknya Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945. Dengan ditetapkannya UUD 1945, NKRI telah memiliki sebuah konstitusi,
yang di dalamnya terdapat pengaturan tiga kelompok materi-muatan konstitusi,
yaitu:
(1) Adanya perlindungan terhadap
HAM,
(2) Adanya susunan ketatanegaraan
negara yang mendasar, dan
(3) Adanya pembagian dan pembatasan
tugas-tugas ketatanegaraan yang juga
mendasar.
Sesuai dengan UUD 1945, yang di dalamnya terdapat rumusan
Pancasila, Pembukaan UUD 1945 merupakan bagian dari UUD 1945 atau merupakan
bagian dari hukum positif. Dalam kedudukan yang demikian, ia mengandung segi
positif dan segi negatif. Segi positifnya, Pancasila dapat dipaksakan
berlakunya (oleh negara); segi negatifnya, Pembukaan dapat diubah oleh MPR
sesuai dengan ketentuan Pasal 37 UUD 1945. Hukum tertulis seperti UUD termasuk
perubahannya, demikian juga UU dan peraturan perundang-undangan lainnya, harus
mengacu pada dasar negara (sila - sila Pancasila dasar negara).
Dalam kaitannya dengan ‘Pancasila sebagai paradigma
pengembangan hukum’, hukum (baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis) yang
akan dibentuk tidak dapat dan tidak boleh bertentangan dengan sila-sila:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa,
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab,
3. Persatuan Indonesia,
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan demikian, substansi hukum yang dikembangkan harus
merupakan perwujudan atau penjabaran sila-sila yang terkandung dalam Pancasila.
Artinya, substansi produk hukum merupakan karakter produk
hukum responsif (untuk kepentingan rakyat dan merupakan perwujuan aspirasi
rakyat). Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Kehidupan Umat Beragama Bangsa
Indonesia sejak dulu dikenal sebagai bangsa yang ramah dan santun, bahkan
predikat ini menjadi cermin kepribadian bangsa kita di mata dunia
internasional.
Indonesia adalah Negara yang majemuk, bhinneka dan plural.
Indonesia terdiri dari beberapa suku, etnis, bahasa dan agama namun terjalin
kerja bersama guna meraih dan mengisi kemerdekaan Republik Indonesia kita.
Namun akhir-akhir ini keramahan kita mulai dipertanyakan oleh banyak kalangan
karena ada beberapa kasus kekerasana yang bernuansa Agama. Ketika bicara peristiwa
yang terjadi di Indonesia hampir pasti semuanya melibatkan umat muslim, hal ini
karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Masyarakat muslim di
Indonesia memang terdapat beberapa aliran yang tidak terkoordinir, sehingga
apapun yang diperbuat oleh umat Islam menurut sebagian umat non muslim mereka
seakan-seakan merefresentasikan umat muslim.
Paradigma toleransi antar umat beragama guna terciptanya
kerukunan umat beragama perspektif Piagam Madinah pada intinya adalah seperti
berikut:
1. Semua umat Islam, meskipun terdiri dari banyak suku merupakan satu
komunitas (ummatan wahidah).
2.
Hubungan antara sesama anggota
komunitas Islam dan antara komunitas
3.
Islam dan komunitas lain didasarkan
atas prinsip-prinsi:
a. Bertentangga yang baik
b. Saling
membantu dalam menghadapi musuh bersama
c. Membela
mereka yang teraniaya
d. Saling
menasehati
e.
Menghormati kebebasan beragama.
Lima prinsip tersebut mengisyaratkan:
·
Persamaan hak dan kewajiban antara sesama warga negara tanpa
diskriminasi yang didasarkan atas suku dan agama;
·
pemupukan semangat persahabatan dan saling berkonsultasi
dalam menyelesaikan masalah
bersama serta saling membantu dalam menghadapi musuh
bersama. Dalam “Analisis danInterpretasi Sosiologis dari Agama” (Ronald
Robertson, ed.) misalnya, mengatakan bahwa hubungan agama dan politik muncul
sebagai masalah, hanya pada bangsa-bangsa yang memiliki heterogenitas di bidang
agama.
Hal ini didasarkan pada postulat bahwa homogenitas agama
merupakan kondisi kesetabilan politik. Sebab bila kepercayaan yang berlawanan
bicara mengenai nilai-nilai tertinggi (ultimate value) dan masuk ke arena
politik, maka pertikaian akan mulai dan semakin jauh dari kompromi.
Dalam beberapa tahap dan kesempatan masyarakat Indonesia
yang sejak semula bercirikan majemuk banyak kita temukan upaya masyarakat yang
mencoba untuk membina kerunan antar masayarakat. Lahirnya lembaga-lembaga
kehidupan sosial budaya seperti “Pela” di Maluku, “Mapalus” di Sulawesi Utara,
“Rumah Bentang” di Kalimantan Tengah dan “Marga” di Tapanuli, Sumatera Utara,
merupakan bukti-bukti kerukunan umat beragama dalam masyarakat. Ke depan, guna
memperkokoh kerukunan hidup antar umat beragama di Indonesia yang saat ini
sedang diuji kiranya perlu membangun dialog horizontal dan dialog Vertikal.
Dialog Horizontal adalah interaksi antar manusia yang dilandasi dialog untuk
mencapai saling pengertian, pengakuan akan eksistensi manusia, dan pengakuan
akan sifat dasar manusia yang indeterminis dan interdependen. Identitas
indeterminis adalah sikap dasar manusia yang menyebutkan bahwa posisi manusia
berada pada kemanusiaannya. Artinya, posisi manusia yang bukan sebagai benda
mekanik, melainkan sebagai manusia yang berkal budi, yang kreatif, yang
berbudaya.
No comments:
Post a Comment